Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus mendapat tekanan beruntun seiring meningkatnya ketidakstabilan pasar finansial dunia. Sampai-sampai Bursa Efek Indonesia harus menangguhkan sementara transaksi (صند
trading halt
) perdagangan saham merosot 6-7 persen, Selasa (18/3).
Menanggapi gonjang-ganjing yang terjadi pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menggarisbawahi bahwa penurunan IHSG ini adalah bagian tak terpisahkan dari pergerakan arus investasi di skala global. Walau demikian, Perry meyakinkan bahwa berbagai jenis aset finansial di Tanah Air masih menjadi daya tarik tersendiri untuk para pemodal.
Dalam situasi pasaran yang tidak menentu, Perry Warjiyo mengirimkan pesan kepada pelabur untuk terus berkeyakinan pada ekuitas Indonesia.
Bank Indonesia meyakinkan bahwa alat-alat keuangan seperti Surat Berharga Negara (SBN) dan Sukuk Ritel Seri Baru Indonesia (SRBI) masih menjadi pilihan menjanjikan untuk para pemodal mancanegara, khususnya dengan penawaran yield yang bersaing jika dibandingkan dengan negara-negara lain.
“Maka pesan kami terhadap para investor adalah bahwa kami memastikan aset keuangan di Indonesia, lebih spesifik SBN dan SRBI, masih akan menjadi pilihan menarik bagi investor luar negeri untuk berinvestasi di sini. Investasi jenis ini harus menghasilkan imbal balik yang bersaing dibanding negara berkembang lainnya,” jelas dia saat memberikan keterangan pada jumpa pers di Kantor pusat BI, Rabu (19/3).
Dia juga menggarisbawahi bahwa investor bisa membandingkan selisih hasil antara Surat Berharga Negara (SBN) dan Sarana Reksadana Bank Indonesia (SRBI) dengan instrumen sejenis di luar negeri, seperti India, dan akan melihat bahwa Indonesia tetap memberikan tingkat pengembalian yang lebih menjanjikan.
“Bisakah investor asing mengestimasi perbedaan hasil antara surat utang negeri dan srbi yang lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa negara atau wilayah, termasuk India?” tegasnya.
AS Memangkas Proyeksi Tingkat Suku Bunga
Salah satu penyebab utama dari situasi pasar keuangan dunia sekarang menurutnya adalah keputusan tingkat suku bunga oleh The Federal Reserve (The Fed).
Dia mengira bahwa The Fed hanya akan menurunkan tingkat suku bunganya yang diacukannya (Federal Funds Rate atau FFR) sekali saja pada tahun ini, dan kenaikan itu tak akan terjadi dalam jangka pendek.
“Perry mengatakan bahwa diperkirakan FFR hanya akan diturunkan satu kali dalam setahun dan sepertinya Fed tidak terburu-buru untuk menurunkannya,” katanya.
Perry juga menggarisbawahi penurunan defisit fiskal AS yang mungkin terjadi di bawah estimasi awal.
Sektor keuangan Amerika Serikat sebelumnya memperkirakan defisit fiskal akan mencapai angka 7,7 persen untuk tahun ini; bagaimana pun, perkiraannya saat ini telah menurun menjadi 6,4 persen saja. Akibat perubahan tersebut, permintaan pasar atas obligasi dari pihak pemerintah juga tidak secapa tinggi seperti prediksi semula.
“Konsekuensinya bagi dunia keuangan, ketidakstabilan global tetap tinggi dalam menentukan arah perubahan portofolio investasi internasional,” katanya.
Perry menyatakan bahwa arus investasi global sedikit demi sedikit berubah. Sebelumnya, banyak modal portfolio menuju ke Amerika Serikat, namun saat ini ada peningkatan alih investasi tersebut ke pasaran negara-negara yang sedang tumbuh, walaupun masih dalam skala kecil.
Akan tetapi, hal yang paling mencolok adalah pertambahan investasi pada emas sebagai instrumen pelindungan terhadap ketidakstabilan ekonomi global.
“Pada SBN, obligasi yang dikuasai oleh pemerintah dan juga swasta telah mengalami perubahan ini secara bertahap menuju pasar berkembang, meskipun masih terbatas. Namun, yang signifikan adalah alihnya investasi dari surat berharga menjadi logam mulia,” jelas Perry.
Pada saat yang sama, beban pada bursa saham tak hanya dirasakan di Indonesia saja, melainkan juga di Amerika Serikat serta area Asia lainnya. Perry menggarisbawahi bahwa penurunan nilai saham ini merupakan suatu kejadian yang melebihi batas nasional, sekaligus menjadi indikator dari situasi pasar modal dunia.
“Begituluh dia, untuk saham, baik di Amerika Serikat maupun secara regional, sama-sama mengalami penurunan nilai saham,” jelasnya.
Dengan alihnya investasi tersebut, Perry tetap yakin bahwa aset finansial Indonesia masih sangat menjanjikan. Menurut dia, surat berharga negara (SBN), saham, serta sekuritas rupiah bank sentral (SRBI) masih menjadi pilihan yang menguntungkan dari sudut pandang dasarnya, terlebih lagi karena perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan akan bertahan dalam rentang positif antara 4,7-5,2%.
Dalam menghadapi tekanan luar biasa, Bank Indonesia tetap melanjutkan upaya-upayanya untuk mempertahankan kestabilan nilai tukar rupiah. Perry menyatakan bahwa penurunan nilai rupiah belakangan ini sebagian besar dipicu oleh kondisi pasar global yang tidak pasti dan faktor-faktor teknis lainnya, daripada masalah-masalah mendasar dari perekonomian dalam negeri yang sedang lesu.
“Pada dasarnya, Rupiah seharusnya bisa melemah. Namun, tekanan yang saat ini dialami oleh mata uang tersebut cenderung disebabkan oleh aspek-aspek teknis akibat ketidakstabilan ekonomi dunia dan juga keraguan dalam pasar finansial internasional,” ungkapnya.
Untuk meredakan beban tersebut, Bank Indonesia tetap melanjutkan langkah intervensinya dalam pasar mata uang asing demi mempertahankan kestabilan kurs. Menurut Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti, arus dana keluar (capital outflow) dari bursa efek Indonesia telah mencapai angka Rp 22 triliun mulai bulan Januari sampai dengan Maret tahun 2025.
Akan tetapi, dari sudut pandang lain, arus dana masuk (aliran modal) ke dalam instrumen SBN dan SRBI mencapai angka Rp 25 triliun, hal ini mengindikasikan bahwa para investor masih mempunyai keyakinan pada pasar obligasi di Indonesia.
“Jadi artinya kalau kita bicara SBN SRBI lebih ke fundamental jadi ini yang kita harapkan bahwa apa yang terjadi kemarin sifatnya
temporary
“karena tentu saja terkejut dengan keputusan-keputusan yang ada di skala global,” ungkap Destry.