Masalah kembali adanya peran ganda Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) muncul lagi dalam diskusi tentang penyusunan ulang Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Di dalam rangkaian revisi tersebut, anggota militer dapat diposisikan untuk memegang jabatan sipil di berbagai departemen dan instansi pemerintahan.
Pembahasan
RUU TNI
menarik kritikan karena dilaksanakan dengan tertutup di suatu hotel pada hari Minggu. Di samping itu, daftar inventaris permasalahan atau DIM RUU TNI dikatakan mencakup beberapa artikel yang kontroversial.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengatakan bahwa ada beberapa ketentuan yang mencemaskan dalam Rancangan Undang-Undang Tentang TNI. Salah satunya adalah peningkatan tugas TNI pada pekerjaan sipil seperti di Badan Pengawas Fiskus dan Departemen Laut dan Nelayan. Selanjutnya, kelompok tersebut turut meragukan kedudukan Jaksa Agung Muda Bidang Pelanggaran Hukum Militer (Jampidmil). Koalisi berpendapat jika posisi ini sebenarnya tak penting karena cuma membidangi kasus-kasus yang berkaitan dengan militer saja.
Kehadiran ketentuan-ketentuan itu membawa kita kembali ke praktek dwifungsi ABRI. Di bawah ini adalah riwayat dari dwifungsi ABRI.
Sekarang ini, TNI sebelumnya diizinkan untuk mengambil bagian dalam jabatan sipil, bukan hanya berperan sebagai kepolisian militer. Menurut Modul Pembelajaran Sejarah Indonesia SMA kelas XII edisi tahun 2020 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ide tentang dwifungsi ABRI pertamakali dikemukakan pada tanggal 12 November 1958 oleh AH Nasution, yang ketika itu sedang menjalankan tugas sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).
Konsep “jalan tengah,” yang menjadi asal-usul konsep dwifungsi ABRI, disajikan oleh Nasution saat berpidato pada peringatan ulangtahun Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelan. Konsep ini kemudian dikuatkan selama masa Orde Baru lewat Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Nomor II tahun 1969.
Selama era kepemimpinan Presiden Republik Indonesia yang kedua ini,
Soeharto
Konsep ini berubah sehingga struktur Organisasi TNI (bukan individu tertentu) memperoleh posisi-posisi penting di lingkaran pemerintahan, termasuk sebagai Menteri, Gubernur, Bupati, dan juga dewan-dewan legislative melalui fraksi FRIBI/TNI,” demikian disebutkan dalam buku itu.
Konsep dwifungsi ABRI ini turut membuat TNI memegang posisi kuat dalam arena politik Indonesia. Military officers yang masih aktif dapat berperan sebagai anggota MPR dan bahkan mendirikan fraksi tersendiri untuk TNI di DPR. Oleh karena itu, dwifungsi ABRI dilihat sebagai salah satu tanda dari atmosfer politik yang bersifat represif.
Tekanan untuk Menghapus Dwikarsa ABRI pada Masa Reformasi
Implementasi dari peran ganda Tentara Nasional Indonesia Angkatan Bersenjata (ABRI) dianggap mengekang kemerdekaan setiap warganegara sipil untuk turut serta dalam urusan pemerintahan. Akibat buruk dari prinsip tersebut termasuk penyimpangan atas Hak Asasi Manusia (HAM), terlebih saat timbul perselisihan antara masyarakat biasa dan otoritas pemerintah. Sebagai contoh, ada insiden yang melibatkan pembantaian di Kedungombo, Jawa Tengah; masalah serupa juga dialami penduduk Way Jepara di Lampung; tembakan yang dilancarkan petugas militer pada massa di Waduk Nipah, Madura; serta kasus kerusuhan tanggal 27 Juli 1996.
Konsep dwifungsi ini menimbulkan banyak perdebatan hingga akhirnya menjadi salah satu poin utama dalam tiga agenda reformasi yang diajukan oleh para Demonstrator mahasiswa di bulan Mei tahun 1998. Para mahasiswa tersebut mendesak agar angkatan bersenjata tidak lagi terlibat dalam urusan politik partisan dan kembali fokus pada tanggung jawab mereka untuk melindungi negara.
Penyingkiran peran ganda ABRI menjadi topik utama diskusi seminari Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat yang diselenggarakan tanggal 22 sampai 24 September 1998 dengan tema ”
Peranan TNI AD di Zaman Modern”.
Saat itu, pemerintah yang dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia ketiga, BJ Habibie, berkomitmen untuk menjadikan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai pengawas utama dalam bidang pertahanan nasional. Kemudian, Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal Wiranto, Kepala Staf Bidang Sosial-Politis Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), Mayor Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, serta pemimpin-pemimpin TNI lainnya mulai mundur perlahan-lahan dari urusan politik dan administrasi pemerintahan.
Pada zaman Presiden ke-4 Republik Indonesia, Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal sebagai Gus Dur, dwifungsi ABRI secara sah dicabut. Dia membubarkan fraksi TNI-Polri dalam lembaga legislatif dan melepaskan hubungan antara polisi dan tentara. Perubahannya semakin jelas ketika dia menunjuk Menteri Pertahanan berasal dari kalangan sipil untuk pertama kali setelah periode panjang dimana posisi tersebut selalu diduduki oleh anggota militer mulai tahun 1959. Itu merupakan momen penting pada saat itu.